Setiap bulan Dzulhijjah umat Islam akan melakukan puasa Arafah. Namun sebelum melakukan puasa itu, tidak sedikit yang mendahuluinya dengan puasa Tarwiyah. Jika ditinjau dari syariat Islam, bagaimana hukum puasa Tarwiyah?
Selain karena perintah, mayoritas umat Islam akan menjalankan ibadah karena adanya pahala. Termasuk ketika menjalankan puasa Tarwiyah, mereka meyakini ada pahala dan keutamaan di dalamnya. Padahal untuk sebuah keyakinan, perlu adanya dalil yang mendasarinya.
Nah dalam ulasan kali ini akan dibahas mengenai puasa ini. Untuk tambahan wawasan, simak ulasan berikut dan dapatkan informasinya!
Pengertian Puasa Tarwiyah

Secara umum, mayoritas umat Islam mengetahui puasa Tarwiyah adalah puasa yang dilakukan di tanggal 8 Dzulhijjah. Yaitu bertepatan satu hari sebelum dilaksanakannya puasa Arafah.
Namun jika ditinjau dari bahasa, Tarwiyah berasal dari bahasa Arab tarawwa yang berarti membawa bekal air. Sebab pada tanggal 8 Dzulhijjah, jamaah haji membawa banyak bekal air zam-zam untuk persiapan Arafah.
Ketika di Arafah nanti jamaah haji akan membutuhkan banyak air. Dengan bekal yang telah dipersiapkan, maka hal itu akan memudahkan pelaksanaan ibadah jamaah.
Sedangkan dalam Al Mughni 3/364 Ibn Qudamah menjelaskan asal penamaan puasa ini,
“Dinamakan puasa Tarwiyah karena para jamaah haji membawa bekal air pada hari itu yang disiapkan untuk hari Arafah. Ada juga yang mengatakan, dinamakan hari Tarwiyah karena Nabi Ibrahim ‘Alaihis salam bermimpi menyembelih putranya pada tanggal 8 Dzulhijjah. Di pagi harinya beliau yarwi (berbicara) dengan dirinya sendiri, apakah itu mimpi kosong atau wahyu Allah. Sehingga hari itu dinamakan hari Tarwiyah”.
Demikianlah pengertian puasa Tarwiyah. Meskipun hukumnya berbeda dengan hukum puasa Arafah, banyak umat Islam yang melaksanakannya. Bahkan banyak diantara mereka yang tidak tahu dalilnya, hanya sebatas meyakini keutamaannya.
Dasar Puasa Tarwiyah

Bagi setiap muslim, sebaiknya dalam setiap amaliyah perlu mendasarkan kepada dalil. Terlebih saat amaliyah yang dilakukan berkaitan dengan ibadah. Dan puasa merupakan amaliyah yang masuk dalam ranah ibadah.
Dengan demikian melaksanakannya perlu dalil puasa Tarwiyah. Sebab jika tidak ada perintah, amal ibadah yang dilakukan akan tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya,
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak”. (HR Muslim No. 1718)
Dalam pelaksanaan puasa Tarwiyah, sebagian besar umat Islam berpedoman pada satu dalil. Dimana dalil ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Dan jumhur ulama menyatakan bahwa dalil tersebut dhaif bahkan hingga maudhu’.
Riwayat yang dijadikan dalil puasa ini adalah hadits dari Ali Al Muhairi dari At Thibbi, dari Abu Sholeh dari sahabat Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘Anhu. Dalam riwayat ini dijelaskan yang artinya,
“Siapa yang puasa 10 hari maka setiap harinya seperti puasa sebulan. Dan untuk puasa pada hari Tarwiyah seperti puasa setahun. Sedangkan untuk puasa hari Arafah seperti puasa dua tahun”.
Dalam Al Maudhu’at 2/198, Imam Ibnul Jauzi memberikan keterangan berkaitan hadits ini,
“Hadits ini tidak shahih. Sulaiman At Taimi mengatakan, “At Thibbi seorang pendusta”. Ibnu Hibban juga menilai bahwa At Thibbi jelas-jelas pendusta. Sangat jelas sehingga tidak perlu dijelaskan”.
Dengan adanya pernyataan para ulama maka umat Islam perlu hati-hati. Jangan sampai meyakini suatu dalil untuk diamalkan. Terlebih jika para ulama memberikan pernyataan adanya cacat yang menjadikan hadits maudhu’.
Hukum Puasa Tarwiyah

Jika dalil pelaksanaan puasa Tarwiyah adalah dhaif hingga maudhu’, lantas bagaimana hukum mengerjakannya? Apakah boleh atau tidak seorang muslim mengerjakannya?
Meski ada motivasi yang membara untuk terus istiqomah di jalan Allah, setiap muslim perlu bijaksana melihat hukum. Jangan sampai salah menempatkan mana itu yang wajib, sunnah, mubah bahkan yang haram. Termasuk dalam menempatkan hukum puasa Tarwiyah.
Terlebih yang dijadikan motivasi adalah dalil yang dhaif atau maudhu’. Sebab menjadikan dalil itu pijakan, selain tidak mendatangkan keutamaan puasa Tarwiyah, akibatnya bisa fatal. Selain amalan tertolak bisa mendatangkan dosa bagi pelakunya.
Dari dalil yang telah disebutkan di atas, bukan menegasikan pelaksanaan puasa Tarwiyah. Meski statusnya bukanlah sunnah, setiap muslim tidak dilarang untuk mengerjakannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah tidak membenarkan dalil yang jelas dipandang lemah oleh para ulama.
Namun bagi yang ingin melaksanakan puasa Tarwiyah tidak perlu berkecil hati. Sebab untuk melaksanakannya hukumnya tetap boleh. Sebab terdapat hadits lain yang membolehkan pelaksanaannya.
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,
“Tidak ada hari dimana suatu amal shalih lebih dicintai Allah melebihi amal shalih yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah). Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah termasuk lebih utama dari jihad fii sabilillah?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Termasuk lebih utama dari jihad fii sabilillah. Kecuali yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad) dan tidak ada satu pun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh)”. (HR Ahmad)
Dengan adanya hadits ini, pada dasarnya setiap umat Islam bisa melakukan beragam amalan di bulan Dzulhijjah. Bahkan amalan yang dilakukan tidak hanya puasa. Bisa berupa shalat-shalat sunnah, berdzikir hingga amal-amalan sosial.
Di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, seorang muslim tidak hanya bisa melakukan amalan puasa Tarwiyah. Setiap amal shaleh yang dilakukannya akan mendatangkan kecintaan tersendiri dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Namun tentu jika dasar pelaksanaannya adalah niat karena Allah semata. Tidak disertai dengan niat khusus, seperti pujian dari manusia.
Adakah Keutamaan Khusus?

Dari ulasan di atas maka dapat dilihat kesimpulan dari pelaksanaan puasa Tarwiyah. Bagi yang melakukan puasa hanya di hari itu, tetap diperbolehkan. Namun tidak ada keutamaan khusus yang akan diperolehnya.
Hal itu didasari status puasa Tarwiyah hukumnya hanya sebatas mubah. Itupun jika menilai puasa itu hanya satu bagian dari keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Mengerjakan puasa ini akan mendatangkan keutamaan sebagaimana beramal shalih di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Yang ada keutamaan khusus adalah pelaksanaan puasa Arafah. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,
“Puasa hari Arafah, saya berharap kepada Allah agar puasa ini sebagai penebus dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun sesudahnya”. (HR Muslim)
Nah dengan demikian setiap muslim perlu bijaksana menempatkan puasa Tarwiyah. Meski pelaksanaannya boleh dilakukan, namun jangan sampai setiap muslim mengkhususkannya sebagai ibadah sunnah.
Informasi mengenai hukum puasa Tarwiyah hanya satu informasi yang perlu umat Islam ketahui. Selain informasi ini, masih banyak hal yang perlu diketahui oleh setiap umat Islam.
Dan terkhusus untuk jamaah dan calon jamaah haji, juga perlu tahu banyak informasi terkait dengannya. Dan untuk saat ini, untuk mendekatkan informasi pada jamaah, travel umroh bisa memanfaatkan aplikasi travel umroh.
Dengan adanya aplikasi tersebut, setiap jamaah dapat mengakses apapun yang mereka butuhkan tanpa kemanapun. Hanya dengan smartphone dalam genggaman, setiap informasi dan layanan dapat diakses dengan cepat dan mudah.